Kamis, 13 Maret 2008

puisi sepi

Saat ini adalah saat dimana aku memikirkan bagaimanakah hidupku ini sebenarnya berjalan. Layaknya kereta yang membutuhkan rel untuk melaju, kehidupan ini pun aku rasakan juga begitu. tapi sejauh yang saya ketahui, rel kehidupan pun banyak sekali, dan aku tidak tahu hidupku ini melaju pada rel yang mana.
Saat aku merasa duniaku tidak butuh lagi materi, uang, ataupun ketenaran. Disaat itu pula aku bingung apakah yang aku cari di dunia ini? Aku bukanlah orang yang bisa berlama-lama di tempat persujudan, aku bukanlah seorang yang bisa berteriak, aku bukanlah orang yang bisa menguraikan isi hati dengan kata-kata di depan orang, aku hanya bisa diam, membisu, menyendiri, menyepi, bungkam, berdiam dalam kesendirian. Aku adalah aku…….seorang manusia pendosa.
Malam menjelang, pagi mendatang, mata hari tenggelam bulan benderang. Hanya dalam diam, sendiri, kesepian hati. Tak ada yang menemani hanya seonggok daging tak berjiwa, menantikan curahan cahaya kegairahan hidup.
Selayaknya manusia biasa, aku pun dikaruniai dengan perasaan dan cinta. Tapi apa? Aku tak pernah merasakan cinta……hubungan cinta yang selama ini aku jalani hanya sebagai treen yang wajar di kalangan anak muda, mungkin lebih tepatnya karena aku tidak mau dikatakan jomblo dan tidak ada yang mau, secara fisik aku termasuk tipe cowok yang diidam-idamkan wanita, dengan tinggi 178 cm, dan berat badan 60 kg, dan wajah yang imut. Tapi sebagaimana salah satu lirik lagu mengatakan “karena cinta tercipta hanya sebagai pemuas nafsu belaka” aku pun tidak merasakan hakikat cinta itu sebenarnya. Aku hanya merasakan hampa dari perasaan apapun itu bentuknya.
Kepedihan hati, keterombang-ambingan, ketidak pastian, tak ada harapan, itulah teman sehari-hariku. Tak ada harta, tahta ataupun wanita tak menjadi persoalan bagiku, hanya berteman sepi, memeluknya, menciumnya, bergumul dalam dunianya, hingga aku berusaha merengkuh kenikmatan darinya, walaupun sesaat dan hanya sebentar.
diam dalam kebisingan, terbahak dalam kepedihan, menangis dalam kebahagiaan, gaduh dalam kesunyian, itu lah aku, seonggok daging tanpa jiwa. Nilai-nilai religius yang aku pelajari di pondok pesantren dulu seakan lenyap tanpa jejak sepeninggalan. Hanya sayup-sayup aku mendengar ceramah kyaiku di pondok dulu, tapi ah…..itu hanya angina lalu, hanya sekejap, dan tak lebih banyak dari kata “sekejap”.
Bagaimana dengan tuhanku? Dia adalah yang maha tau, dia yang paling dekat dengaku, melabihi dekatnya urat nadi di lenganku, dia menyayangiku melebihi sayangnya pacarku kepadaku. Tapi apalah itu, aku tidak pernah merasakanya, atau aku memang berusaha untuk tak merasakannya? Padahal aku tau nyawa, jiwa, buana, rasa, dan lain sebagainya. Adalah dia yang mengaruniakan, dia yang mencurahkan, dia yang menghujaniku dengan rahmat, tapi………ah aku terlalu banyak dosa untuk merengkuh kesuciannya.
Kini tinggal aku sendiri, berteman sepi, ya……sepi, dia yang paling setia menemani, tapi sudahlah, setidaknya masih ada yang bisa aku rasakan walaupun itu hanya sebuah kesepian, maka aku akan bergumul, merangkul, memeluk, dan bahkan bersetubuh dengan sang sepi itu.
Wahai sepi………
Jangan kau pergi……..
Seperti siang meninggalkan pagi……
Seperti asap meninggalkan api……
Dan seperti para hidung belang,
Yang meninggalkan mani…

Tetaplah menemaniku………
Ditiap waktuku……..
Ditiap relung hatiku……
Bahkan setiap inci tubuhku…

Genggamlah aku dengan tangan gulitamu……..
Rengkuhlan aku dengan sepimu….
Peluklah aku dengan kesendirianmu……
Atau bunuh saja aku dengan pedang meranamu……..

Karena aku sangan mencintaimu…
Sepi……….
By: sepi…….